Tahun 2008, saya kembali dari Italia ke Indonesia dengan perasaan campur aduk.

Di satu sisi, saya hepi karena bisa merasakan hidup di luar negeri, meskipun hanya tiga bulan kurang sedikit. Tidak tanggung-tanggung, lokasinya pun sebuah kota kecil nan indah di atas bukit wilayah Tuscany, bernama Siena. Entah sudah berapa lama sebelumnya saya terobsesi dengan Italia: musiknya, bahasanya, makanannya, sejarahnya, dan lain sebagainya. Kesempatan itu datang berbentuk kursus singkat bahasa dan budaya, dan saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk menghirup sebanyak mungkin Italia.

Di sisi lain, saya pulang dengan rasa yang sama seperti sebuah tim sepak bola yang menjadi bulan-bulanan lalu tersisih dalam fase grup piala dunia: pulang terlalu dini, meskipun masih banyak mimpi yang terasa dekat namun ternyata begitu jauh. Awalnya, saya tidak ingin langsung pulang, tetapi melanjutkan studi atau mencari pekerjaan di sana. Namun bulan-bulan di sana tidaklah mulus. Persiapan yang sangat kurang memunculkan banyak masalah.

Saya tidak menyesal (oke, mungkin kadang-kadang masih menyesal). Perjalanan tersebut membuka banyak wawasan dan sudut pandang baru. Dan terutama, saya jadi punya mimpi-mimpi baru: ingin lebih banyak melihat dunia, ingin lebih fokus bermusik (dan tampil di gedung-gedung kuno Eropa!), ingin melanjutkan kuliah, dan masih banyak lagi. Keputusan-keputusan yang diambil setelah itu pun mengarah pada mewujudkan mimpi-mimpi ini. Keputusan untuk tidak mengejar karir di perusahaan besar (yang mana sebenarnya adalah mimpi Ibu untuk saya. Mohon maaf ya Bu), keputusan untuk lebih aktif bermusik (dan berkesenian secara umum), dan keputusan untuk aktif dalam komunitas-komunitas untuk membuka lebih banyak wawasan baru.

Tentu saja, perjalanan setelahnya tidak selalu mulus. Terlebih saya gampang teralihkan perhatiannya pada hal-hal baru. Untungnya masih ada yang mengingatkan saya pada tujuan. Jalan pun terkadang muncul secara tidak terduga, seperti misalnya bisa tampil berpaduan suara di sejumlah kota di Filipina pada tahun 2013 dan di Prancis pada tahun 2014. Saya juga bisa menyempatkan diri mengunjungi berbagai tempat-tempat menarik di Indonesia dan beberapa negara lainnya, meskipun belum bisa menjangkau semua tempat yang ingin dikunjungi.

Dan kini, setelah delapan tahun berlalu, satu lagi mimpi berhasil terwujud: melanjutkan studi S2 di luar negeri. Jalan untuk mewujudkan ini tidaklah mudah. Apalagi IPK S1 saya kurang baik, fakta ini saja sudah menutup sejumlah jalan terutama untuk beasiswa. Sangat bersyukur pada Tuhan untuk kesempatan studi lanjutan ini, yang sudah tertunda cukup lama.

Delapan tahun itu tidaklah sia-sia. Berbagai pengalaman di dalamnya seolah mempersiapkan saya untuk studi ini. Jika pada 2008 saya dapat langsung melanjutkan studi, bisa jadi saya tidak akan mendapatkan banyak pengalaman bermusik seperti yang saya alami di Bandung. Bisa jadi saya tidak akan pernah terjun ke dunia game development yang sangat menarik. Bisa jadi saya tidak akan pernah bertemu orang-orang yang menjadi inspirasi dan pendorong bagi saya. Kalau diingat-ingat, di tahun 2008 itu barangkali saya masih begitu naif, dan kehidupan tiga bulan di Italia itu adalah salah satu titik balik penting dalam hidup.

Pun demikian sekarang. Studi S2 di Swedia ini adalah sebuah titik balik baru dalam hidup. Sebuah mimpi yang terwujud, namun masih ada konsekuensi yang harus dijalani (belajar, tentu saja), serta berbagai pengalaman baru yang menanti.

Sebuah awal baru

Seorang teman pernah bertanya, apa yang harus dilakukan saat seseorang berhasil mewujudkan mimpinya? Kupikir, jawabannya sudah jelas bukan?

Mari kembali bermimpi.